‘Lo ngerasa bosan hidup ga sih?’
Hampir saya tersedak roti isi yang sedang saya santap saat menghabiskan waktu istirahat siang bersama teman semasa kuliah yang kebetulan bertemu  di kantor klien. Saya letakkan roti di piring dan mengarahkan pandangan dengan serius.
‘Bosan gimana? Lo bukan mau mati kan?’ tanya saya prihatin. Teman saya tertawa terbahak.
‘Bukan itu maksud gue. Abisnya ngerasa waktu tuh lewat cepat banget. Hidup udah kayak rutinitas. Bangun pagi, kerja, urus ini itu, nunggu gajian, terus dihabisin buat belanja, nonton, makan-makan. Udah gitu aja. Ga kayak dulu waktu masih kuliah. Rasanya gue masih punya passion’
Saya cuma diam sambil meresapi uneg-unegnya. Jujur saja, saya pun merasa seperti itu. Waktu rasanya berlalu cepat tanpa arti. Sibuk kejar-kejaran dengan waktu dan ndak akan pernah menang. Padahal waktu yang tersedia dalam satu hari 20 tahun yang lalu ya sama saja dengan satu hari saat ini, 24 jam. Tapi selalu merasa ndak pernah cukup. Apa karena manajemen waktu saya (dan teman) tidak cukup baik?
Waktu istirahat berakhir menyisakan kegalauan akibat beban pikiran masing-masing. Hingga suatu saat saya bicarakan dengan Mya perihal ini. ‘Ah itu hanya kalian saja yang tidak bisa mengapresiasi pencapaian saat ini’. Saya bengong sejenak mendengar tanggapan beliau.
Dengan kata lain kami, saya dan teman yang bosan hidup itu karena kurang bersyukur. Kurang lebih saya paham esensi  bersyukur dan selalu berusaha untuk bersyukur. Sampai suatu saat di sesi latihan gentle flow, dimana instrukturnya lebih banyak ngomong daripada latihan asana, dia berkata ‘Ada masanya kita harus berusaha melewati batas kemampuan tapi kita juga harus tahu kapan untuk merelakan usaha itu karena keterbatasan yang kita miliki’ Hmmm, kontradiksi ndak sih? Tapi kalau kembali ke ajaran yang saya yakini ya ada benarnya juga. Antara keseimbangan usaha (ikhtiar) dan doa (tawakkal).
Introspeksi diri dengan ‘usaha’ saya untuk bersyukur dengan cara memandang ke bawah dan melihat ketidakberuntungan orang lain. Memalukan. Perlahan saya coba melepaskan diri dari pikiran negatif yang menghakimi diri sendiri. Mencukupkan apa yang saya butuhkan dengan apa yang saya punya saat ini. Memaafkan kesalahan yang telah saya perbuat di masa yang lalu dan ndak ambil pusing dengan hal yang belum terjadi. Saya hidup untuk saat ini.
Tahu law of attraction? Saya rasa hal itu yang terjadi belakangan ini. Hal-hal positif datang saat saya juga berfikir tentang hal yang positif. Â Kadang malah terasa sesak dengan hal-hal baik yang datang tanpa saya kira. Hal-hal baik yang ingin saya bagi dan kembalikan ke orang-orang di sekitar saya agar bisa sama-sama merasakan manfaatnya.
Alhamdulillah (ga pake yah) sudah ndak lagi ngomong dengan kurang ajarnya ‘Gue juga bosan hidup’ 😀